Sebuah Mimpi
Kehidupan yang tentram dan damai, kehidupan yang sangat berarti berkumpul bersama keluarga yang begitu hangat, kehangatan timbul dari rumah yang sederhana namun memiliki kedamaian di dalamnya. Keluarga tempat pulang dan berteduh dari segala cuaca apapun. Keharmonisan yang mengalir setiap hari sebagai asumsi untuk semangat menjani kehidupan sehari-hari. Keluarga yang sangat sederhana namun memiliki kebersamaan yang cukup kuat dalam menjali segala lika-liku perjalan hidup. Keadaan ekonomi yang jauh dari cukup.
Sinar matahari masuk ke dalam sela-sela jendela rumah kecil. Aku terbangun dari tidur ketika suara lembut menyapa pagi itu.
“Rizkyyy…” (Teriakan suara lembut terdengar jelas dari belakang pintu kamar)
“Iya mah” (Kataku dengan mata terpicing)
Perlahan suara pintu itu terbuka.
“Sudah jam berapa ini nak? Memangnya kamu nggak sekolah?”
“Sekolah mah, maaf mah aku terlambat bangunnya” (kataku)
“Iya tidak apa-apa nak, sekarang kamu siap-siap untuk pergi ke sekolah ya, sebelum pergi mamah udah siapkan sarapan untuk kamu”
“Iya mah, aku siap-siap dulu yah”
Pintu kamar aku kembali tertutup.
“Selamat pagi semuanya” (Kataku dengan raut wajah ceria)
“Selamat pagi juga nak. Widih gantengnya anak mamah, sini nak kita sarrapan bareng-bareng” (Ujar mama)
“Iya mah”
Seperti biasa setiap paginya kami sarapan terlebih dahulu dengan sarapan apa adanya sebelum melakukan aktivitas. Setelah selesai sarapan, aku segera bergegas untuk pergi ke sekolah.
“Rizkyy.. ini gorengannya sudah mamah siapkan” (Ujar mama dengan membawa berbagai jenis gorengan)
“Oh iya mah, seketika aku mengambil gorengan dari tangan mamah”
(Ujarku)
Memang aku dari zaman SMP sudah dibiasakan hidup mandiri dan sederhana, aku tidak terlahir dari keluarga berada, ibuku hanya sebagai ibu rumah tangga sedangkan ayahku bekerja sebagai serabutan. Aku bukan mereka yang bisa mendapatkan dan membeli apapun yang mereka mau dengan orang tuanya. Berbeda dengan diriku yang harus berjuang terlebih dahulu untuk mendapatkan apa yang aku inginkan. Jarak sekolah dari rumahku cukup jauh, hal itu membuatku harus pandai dalam mengatur bekal sekolah. Menjual gorengan adalah salah satu cara agar aku bisa sedikit membantu perekonomian keluargaku.
“Mah aku pamit berangkat ke sekolah ya” (Ujarku dengan tentengan ditangan yang berisi bermacam-macam gorengan)
“Iya nak hati-hati di jalan, ini mamah ada sedikit uang buat kamu jajan” (Sambil menyodorkan uang sebesar Rp 5000)
“Iya mah makasih” (Ujarku sambil melangkahkan kaki meninggalkan rumah)
Aku pun bergegas meninggalkan rumah. Berjalan kaki selalu aku lakukan setiap hari untuk menempuh perjalanan menuju sekolah, hal itu membuatku harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat ke sekolah. Rasa lelah seakan kuhiraukan demi sebuah mimpi yang aku harapkan yaitu mengangkat derajat kedua orang tuaku.
Sesampainya di sekolah, aku bergegas menyimpan tas ke kelas dengan membawa gorengan yang akan aku tawarkan ke teman-teman kelas.
“Rizky … aku mau dong gorengannya” (Ujar tiara)
“Oh boleh tiara, kamu mau gorengan apa saja?” (Kataku)
“Aku mau goreng tempe, tahu sama bakwan. Jadi semuanya berapa?” (Ujar tiara)
“Semuanya jadi 5000”
Tak lama lonceng sekolah berbunyi menandakan pembelajaran akan segera dimulai. Langkah kaki terdengar jelas dari luar kelas menandakan seorang guru akan segera masuk ke kelas.
“Selamat siang anak-anak” (Ujar ibu guru dengan nada yang lembut)
“Selamat pagi juga bu” (Teriakan anak-anak dengan serentak)
Pembelajaran matematika segera dimulai. Ibu guru menjelaskan materi baru dengan sangat jelas. Aku senang sekali dengan pelajaran matematika, menurutku matematika pelajaran yang sangat menantang sehingga membuatku terpacu untuk terus mempelajarinya.
“Baik anak-anak, ada yang mau ditanyakan?” (Tanya ibu guru)
“Tidak bu” (Ujar anak-anak serantak)
“Baiklah kalau tidak ada yang bertanya ibu tutup pelajaran hari ini, untuk minggu depan kita lanjut ke materi selanjutnya. Jangan lupa belajar di rumah ya” (Ujar ibu guru sambil meninggalkan kelas)
Bel istirahatpun berbunyi pertanda waktu istirahat telah tiba. Seperti biasanya, aku bergegas meninggalkan kelas untuk melanjutkan berjualan gorengan dengan berkeliling sekolah.
Tak lama bel masukpun berbunyi, menandakan waktu istirahat telah selesai. Aku pun bergegas untuk masuk kembali ke kelas.
Pembelajaran selanjutnya dimulai. Rasa lelah karena telah berkeliling berjualan membuatku sedikit tidak bersemangat mengikuti pembelajaran. Tetapi seperti biasa aku memotivasi diri sendiri untuk terus bersemangat sekolah. Karena orang tua sebagai acuan semangat aku ketika mencari ilmu.
Bel pulang akhirnya berbunyi pertanda proses pembelajaran akan segera berakhir, rasa senang menyelimuti hati karena proses pembelajaran telah berakhir, meski gorengan yang aku bawa tidak habis. Namun, aku tau jualan itu tak selalu habis. Aku berniat tuk menjual kembali gorengan di sekitar rumahku. Karena prinsipku pantang pulang sebelum gorengan yang kubawa habis.
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya menawarkan gorengan berharap semua orang mendengar tawaranku.
“Gorengan… gorengan … gorengan” (Teriakanku dengan semangat)
“Gorengan nak!” (Ujar ibu-ibu dengan nada yang sangat keras)
Aku pun bergegas menghampiri suara teriakan ibu-ibu memanggilku.
“Nak, ibu mau beli gorengan 10.000 masih ada?” (Ujar ibu-ibu)
“Oh masih ada bu, kebetulan ini gorengannya jadi 10.000 saja” (Kataku sambil membungkus gorengan)
“Yasudah ibu beli gorengannya 10.000 yah nak, ini uangnya” (Sambil menyodorkan uang)
Setelah gorengan yang aku jual habis, aku bergegas untuk pulang dengan jalan kaki. Setiap hari aku berjalan kaki dengan jarak rumah yang cukup lumayan jauh. Meskipun mama memberikan uang bekal untuk aku naik angkot, tapi aku berniat menabung uang tersebut untuk kebutuhan sekolahku.
Sesampainya di rumah, ku simpan tentengan gorengan yang sudah terjual habis.
“Sudah pulang nak? Bagaimana penjualan hari ini?” (Ujar mama dengan raut muka penuh harap)
“Alhamdulilah mah penjualan hari ini habis, kebetulan tadi ada ibu-ibu yang memborong habis daganganku. Oh iya mah ini hasil penjualan hari ini” (Ujarku sembari menyodorkan uang hasil penjualan).
“Oh iya makasih nak, sekarang kamu ganti pakaian langsung makan siang. Makanannya sudah mama siapkan di atas meja” (Ujar mama sambil bergegas ke dapur)
Setelah mengganti pakaian, aku langsung makan yang sudah disiapkan di atas meja. Beberapa menit kemudian makan sudah habis ku lahap. Aku bergegas pergi ke dapur
“Mah, bapak kemana?” (Tanyaku dengan penasaran)
“Bapak ke kebun nak lagi memotong rumput untuk makan kambing” (Ujar mama)
Bapaku memang tidak mempunyai pekerjaan tetap, sehingga setiap hari bapaku menghabiskan waktu di kebun untuk memotong rumput. Kambing yang dipelihara bukanlah milik bapaku akan tetapi milik tetangga yang sengaja dipelihar oleh bapaku.
“Pak.. sini aku bantu untuk memotong rumput” (Ujarku sambil menghampiri bapak yang sedang asyik memotong rumput”
“Oh iya nak coba kamu potong rumput sebelah sana biar cepat selesai” (Ujar bapak)
Tak lama ku potong rumput dengan cepat karena hari sudah semakin sore, rumput yang ku potong sudah terkumpul dan kumasukan ke dalam karung yang aku bawa dari rumah.
Selain membantu bapak memotong rumput, aku pun harus mengembala kambing di sekitaran kebun.
Hari-hariku dipenuhi dengan kesibukan membantu kedua orang tua bekerja. Namun, hal itu tidak membuatku meninggalkan kewajiban sekolah. Aku harus bisa membagi waktu antara sekolah dan membantu kedua orang tua.
⁕⁕⁕⁕⁕⁕⁕
Masa-masa SMA berakhir, sorak-sorai anak-anak memenuhi setiap sudut-sudut sekolah, wajah-wajah penuh kebahagiaan menyelimuti setiap orang yang telah selesai melaksanakan ujian nasional. Mereka berbincang-bincang mengenai langkah selanjutnya setelah lulus SMA.
“Rizky.. elu habis lulus SMA mau lanjut ke mana? Kuliah atau kerja?” (Ujar Rio dengan nada yang angkuh)
“Aku sih belum tau, tapi aku berniat untuk melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia ngambil jurusan ilmu politik” (Ujarku dengan penuh percaya diri)
“Hahahahaha mimpi ya loh, masa anak penjual gorengan bisa kuliah di Universitas ternama di Jakarta. Elu jangan mimpi deh mending elu jualan gorengan aja di lampu merah” (Ujar Rio dan teman-temannya dengan nada meledek)
Aku terdiam sejenak berusaha mencerna ucapan dari Rio dan teman-temannya yang meledeku. Aku janji akan membuktikan ucapanku ke mereka, kalau anak penjual gorengan bisa kuliah di Universitas ternama di Jakarta.
“Iya, aku memang anak penjual gorengan tapi tidak menutup kemungkinan kalau anak penjual gorengan bisa kuliah” (Ujarku dengan percaya diri)
Setalah kejadian itu, aku semakin terpacu untuk membuktikan kalau aku bisa. Semakin hari aku semakin rajin mencari informasi mengenai jalur beasiswa untuk masuk perguruan tinggi.
Beberapa bulan kemudian aku mendapatkan kabar dari salah satu guru matematika bahwa ada beasiswa masuk perguruan tinggi dengan jalur prestasi. Aku dihubungi bu Ratna agar segera menemuinya di sekolah untuk membicarakan mengenai beasiswa tersebut. Sesampainya di sekolah aku langsung bergegas ke ruangan bu Ratna.
Kuketuk pintu ruangan bu Ratna dengan perlahan.
“Assalamualaikum bu, boleh rizky masuk?” (Ujarku)
“Oh iya rizky silahkan masuk. Jadi begini rizky, kemarin ada info beasiswa untuk masuk ke Universitas Indonesia lewat jalur prestasi, nah ibu merekomendasikan kamu untuk mengikuti jalur tersebut karena ibu tau kamu di sekolah ini mempunyai prestasi yang banyak dan sering mengikuti lomba-lomba di luar jawa, ibu yakin kamu pasti bisa dan mampu mengikuti beasiswa tersebut karena ibu tahu kamu anak yang rajin dan pintar” (Ujar ibu Ratna)
“Oh benar bu? Kebetulan Rizky berniat untuk kuliah bu, tapi keadaan ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan sehingga Rizky hampir mengurungkan niat dan mimpi rizky selama ini untuk kuliah.”
(Ujarku dengan raut wajah berkaca-kaca)
“Kalau begitu kamu besok datang ke sekolah untuk mengikuti tes beasiswa ini jam 09.00, ibu tunggu di sekolah. Ingat ! jangan terlambat, kalau kamu terlambat bisa saja kamu tidak akan bisa mengikuti dan mewujudkan mimpi kamu selama ini.” (Ujar bu Ratna)
“Baik ibu Rizky akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan orang tua Rizky dan insya Allah akan diusahakan agar tidak terlambat datang ke sekolah.”
⁕⁕⁕⁕
Malam pun tiba seperti biasa aku bersama keluarga berkumpul di ruang tamu sambil menonton tv bareng-bareng. Ku beranikan diri membicarakan perihal rencanaku untuk mengikuti beasiswa yang direkomendasikan oleh bu Ratna.
“Mah, pak, Rizky berniat melanjutkan kuliah di Universitas Indonesia” (Ujarku)
“HAH apa nak? Kamu yakin ingin kuliah? Bapak tidak punya uang banyak nak, kamu kan tau bapak hanya bekerja serabutan dan itupun pekerjaannya tidak tentu” (Ujar bapak dengan raut muka yang kaget)
“Iya pak, Rizky tau biaya kuliah itu tidak murah. Tapi Rizky yakin untuk kuliah dengan hasil kerja Rizky, kebetulan tadi siang Rizky direkomendasikan oleh satu guru untuk mengikuti tes beasiswa masuk perguruan tinggi besok siang jam 09.00” (Ujarku)
“Sudahlah Rizky benar kata bapakmu lebih baik kamu tidak usah kuliah kamu bantu saja bapak dan ibu untuk bekerja, ibu takut kamu kecewa kalau sampai berhenti tengah jalan kalau kuliahmu tidak terbayar” (Ujar mama)
“Enggak mah, pak kalau nanti Rizky Lulus jalur Beasiswa, itu berarti Rizky bisa kuliah tanpa harus membayar uang kuliah” (Ujar ku)
“Tapikan nak tetap saja untuk biaya hidup harus dipersiapkan, pokoknya bapak dan mamah tida setuju!” (Ujar mama dengan nada yang mulai meninggi)
Aku terus meyakinkan kedua orang tuaku agar mereka merestui aku untuk kuliah, beberapa saat kemudian akhirnya mamah dan bapak menyetujui untuk aku melanjutkan kuliah. Rasa senang bercampur sedih seketika menyelimuti hatiku malam itu, entah apa yang aku harus lakukan ketika mendengar bahwa aku diizinkan untuk melanjutkan kuliah.
“Yasudah nak kalau keputusan kamu tetap ingin kuliah, mamah dan bapak akan mendukung kamu kalau itu demi kebaikan kamu, pesan ibu ketika kamu kuliah kamu harus sungguh-sungguh melaksanakan kuliahnya, jangan pernah meninggalkan salat dan jangan pernah jadi orang yang sombong.” (Ujar mama dan bapak dengan penuh nasihat)
“Baik mah pak, Rizky janji akan selalu ingat dengan pesan mama dan bapak, Rizky janji akan membahagiakan mama dan bapak ketika Rizky sudah sukses. Rizky hanya minta doakan Rizky selalu agar Rizky menjadi orang sukses dan bisa mengangkat derajat mamah dan papa.” (Ujarku dengan penuh keyakinan).
Setelah selesai berbincang dengan kedua orang tuaku, aku langsung masuk ke kamar dan belajar untuk persiapan tes beasiswa besok.
⁕⁕⁕⁕
Pagi yang kutunggu telah tiba, aku benar-benar bersemangat untuk mengikuti tes beasiswa hari ini. Aku sengaja lebih awal untuk mempersiapkan segala keperluan untuk tes beasiswa hari ini. Sebelum pergi ke sekolah, aku terlebih dahulu pamitan dan meminta restu kepada orang tua agar selalu dipermudah dan dilancarkan segala urusan tes beasiswa.
“Mah, pak, Rizky berangkat dulu ya. Doain Rizky ya mudah-mudahan tes beasiswa hari ini dapat berjalan dengan lancar” (Ujarku)
“Pasti nak, doa bapak dan mama selalu menyertai kamu. Semoga kamu selalu diberikan kemudahan untuk melaksanakan tes beasiswa hari ini” (Ucap mama dengan penuh harapan)
Aku langsung bergegas pergi ke sekolah karena jam sudah menunjukkan pukul 08.30 itu artinya aku hanya punya waktu 30 menit untuk sampai ke sekolah. Sedangkan jarak dari rumah ke sekolah itu tidak dekat, itu artinya aku harus naik angkot untuk sampai ke sekolah lebih cepat.
Pukul 08.50 aku pun sampai di sekolah, aku langsung bergegas memasuki ruangan tes beasiswa. Aku lihat banyak orang-orang yang mengikuti beasiswa hari ini. Raut wajah penuh ketegangan seakan menyelimuti orang-orang yang ada di dalam ruangan. Tak lama kemudian tes tersebut dimuali. Sebelum mengerjakan tes aku berdoa terlebih dahulu berharap semua dapat kulewati dengan mudah.
1 jam berlalu aku mengerjakan tes beasiswa, bel pun berbunyi pertanda tes sudah berakhir dan peserta tes beasiswa dilarang untuk pulang karena hasil tes akan segera diumumkan di aula.
Beberapa saat kemudian, seluruh peserta berkumpul di aula untuk mendengarkan pengumumam kelulusan tes beasiswa. Rasa tegang dan cemas terlihat jelas disetiap raut wajah setiap orang yang meunggu pengumuman tersebut.
Dari sekian banyak orang yang lulus ternyata salah satunya namaku terpanggil, aku seketika menjerit tak percaya dengan apa yang aku dengar siang itu. Tak lama kemudian bu Ratna menghampiri aku dan mengucapkan selamat.
“Rizky … akhirnya kamu bisa membuktikan kalau kamu bisa lulus tes beasiswa ini. Semua ini tidak terlepas dari semangat dan kerja kerasmu selama ini, tidak sia-sia ibu merekomendasikan kamu untuk mengikuti tes beasiswa ini” (Ucap bu Ratna dengan bahagia)
“Alhamdulilah bu akhirnya anak penjual gorengan bisa kuliah di Universitas ternama di Jakarta, terima kasih bu sudah percaya sama Rizky untuk mengikuti tes beasiswa ini” (Ucapku)
Tak terasa air mataku menetes karena bahagia bisa mewujudkan mimpiku selama ini, akhirnya aku bisa membuktikan kepada orang-orang yang sudah meremehkan aku dan keluargaku.
Setelah selesai tes beasiswa, aku langsung bergegas pulang dan memberitahukan mengenai kabar gembira, aku yakin mama dan bapak akan senang mendengar kabar gembira ini.
Sesampainya di rumah, aku langsung membuka pintu dan berteriak sekuat tenaga.
“Mamaaaa… Bapaaak ……Coba lihat apa yang Rizky bawa untuk kalian” (Ujarku dengan sangat girang)
Beberapa saat kemudian, mama dan bapak menghampiriku.
“Ada apa nak? Memangnya apa yang kamu bawa?” (Ujar mama dan bapak dengan rasa penasaran yang tinggi)
“Ini mah, pak coba lihat ini surat hasil keterangan bahwa Rizky Lulus dari tes beasiswa dan Rizky masuk ke perguruan tinggi ternama di Jakarta” (Ucapku)
“Alhamdulilah nak akhirnya doa mama dan bapak terkabul juga, selamat ya nak akhirny mimpi kamu untuk kuliah tercapai” (Ujar mama dan bapak dengan penuh bahagia)
⁕⁕⁕
Akhirnya aku bisa menjalani hari-hari aku menjadi mahasiswa, seperti biasa aku akan bersungguh-sungguh untuk belajar agar bisa mendapatkan nilai yang bagus dan membahagiakan kedua orang tua.
Seperti biasa aku menjalani masa-masa kuliah dengan berjualan, karena aku sudah terbiasa berjualan dari SMP hingga saat ini. Aku bersyukur terlahir dari keluarga sederhana, mereka mengajarkanku arti dari sebuah perjuangan hingga saat ini aku bisa berada di sini. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan kedua orang tuaku.
Seketika ingatanku kembali terngiang-ngiang masa-masa di mana aku harus berjuang membantu perekonomian keluarga, aku teringat segala perjuangan kedua orang tuaku untuk menyekolahkanku ke jenjang yang lebih tinggi. Kini aku harus terbiasa hidup sendiri di kota orang dengan mandiri.
⁕⁕⁕
Beberapa tahun kemudian aku menjalani lika-liku perjalanan hidup dengan penuh usaha dan doa. Akhirnya waktu yang ditunggu selama ini tiba, akhirnya 4 tahun sudah aku melewati masa-masa sulit dengan penuh perjuangan. Akhirnya aku bisa membuktikan bahwa seorang penjual gorengan kini bisa benar-benar mewujudkan mimpinya menjadi seorang sarjana dan lulus dengan nilai coumlaude. Rasa haru menyelimuti hati dan pikiranku. Aku benar-benar bersyukur dengan semua ini.
Dari hasil perjuangan selama 4 tahun kini aku bisa merasakan hasil dari buah kerja kerasku bisa keterima bekerja menjadi seorang staff DPR di Jakarta.
Kini orang-orang yang menghujat dan mencaci diriku akan mimpiku seakan tak percaya dengan apa yang aku raih sekarang. Mimpi ini kini benar-benar menjadi sebuah kenyataan. Aku sangat berterima kasih kepada orang-orang yang telah menghujatku dan meremehkanku, karena dengan hujatan mereka aku bisa ada diposisi sekarang ini.
Jangan pernah takut untuk bermimpi selagi kita mau berusaha dan berdoa untuk meraih sebuah mimpi itu. Karena tanpa adanya sebuah usaha mustahil mimpi itu akan menjadi kenyataan. Karena suatu perekonomian keluarga bukanlah suatu kendala untuk meraih sebuah kesuksesan.
Kategori: Cerpen
Tag: cerpen, dilatasi mimpi